Tepatkah Strategi Pengembangan Satu Desa Satu Posyandu Remaja dalam Pencegahan Stunting di Indonesia?

Berita2159 Views

Ugateway.id Stunting ataupun pendek atau sangat pendek merupakan salah satu masalah gizi terbesar pada balita di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dan SSGBI 2019 serta SSGI 2021 menunjukkan balita 0-59 bulan mengalami stunting sebanyak 30,8%, tahun 2019 sebanyak 27,7%, tahun 2021 sebanyak 24,4% balita. Jika dibandingkan dengan target WHO, maka angka stunting seharusnya < 20%. Anak-anak yang mengalami masalah gizi memiliki risiko 11,6 kali lebih tinggi untuk mengalami kematian dibanding anak-anak yang memiliki status gizi baik. Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 menunjukkan bahwa dari 24 provinsi, tercatat 12 (50%) provinsi memiliki angka prevalensi stunting tinggi dan jumlah kasus yang juga tinggi.

Strategi yang dilakukan pemerintah dalam rangka menurunkan angka kejadian stunting diantaranya telah dilakukan pencegahan dari hulu, jauh sebelum memasuki fase calon pengantin. Dalam hal ini dimulai dari remaja, karena merekalah yang akan menjadi calon orang tua di masa depan, yang akan melahirkan keturunan yang berkualitas. Pelayanan kesehatan ini menggunakan pendekatan siklus hidup mulai dari ibu hamil, bayi, anak balita, anak usia sekolah, remaja, usia produktif dan lansia dan intervensi secara kontinu (promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif) dengan penekanan pada promotif dan preventif diharapkan dapat memutus mata rantai penyebab stunting.

Salah satu indikator kunci pelayanan kesehatan remaja adalah angka kejadian anemia pada remaja. Remaja putri rentan menderita anemia karena siklus menstruasi setiap bulan dan dampak yang terjadi adalah dapat mengalami penurunan daya tahan tubuh, produktivitas, pada saat hamil akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin yang dikandungnya serta berpotensi menimbulkan komplikasi kehamilan maupun persalinan, bahkan menyebabkan kematian ibu maupun anak termasuk kondisi stunting pada bayi yang dilahirkannya. Diketahui bahwa sekitar 23% anak lahir dengan kondisi sudah stunting akibat ibu hamil sejak masa remaja kurang gizi dan anemia.

Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan sebanyak 32% remaja usia 15 sampai 24 tahun mengalami anemia, terdapat 11,7% remaja usia 13 sampai 18 tahun yang kondisinya sangat pendek dan pendek sebesar 40.9%,  sebesar 16,8% sangat kurus dan kurus,  29,5% yang gemuk dan obesitas, ditemukan bahwa 23,9% pernikahan remaja usia 15 sampai 19 tahun dan terjadi kehamilan remaja 36/1000.

Pendekatan pencegahan stunting pada masa remaja dirasa sangat penting karena pada masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, baik fisik-psikologis maupun intelektual, di mana masa ini merupakan masa transisi dari anak menuju dewasa. Berdasarkan WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10 sampai 19 tahun, sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 25 tahun 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10 sampai 18 tahun dan menurut BKKBN rentang usia remaja adalah 10 sampai 24 tahun dan belum menikah. Populasi remaja memiliki persentase yang cukup besar yaitu kurang lebih 17-25%  dari total jumlah penduduk di Indonesia dan 5 sampai 10 tahun yang akan datang akan menjadi generasi penerus bangsa.  Pada tahun 2030 sampai 2040 mendatang Indonesia memasuki periode bonus demografi, periode ini hanya akan benar-benar menjadi keuntungan jika penduduk usia produktifnya berkualitas. Oleh karena itu percepatan penurunan stunting menjadi salah satu prioritas pembangunan dan intervensi yang dilakukan adalah dengan memastikan setiap calon pengantin atau calon WUS berada dalam kondisi ideal untuk menikah dan hamil.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 25 tahun 2014 tentang upaya kesehatan anak, pasal 28 pelayanan kesehatan anak usia sekolah dan remaja dilakukan melalui usaha kesehatan sekolah dan pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR).

Pelayanan kesehatan anak usia sekolah bertujuan untuk mendeteksi dini risiko penyakit pada anak sekolah agar dapat ditindaklanjuti secara dini, meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal, sehingga dapat menunjang proses belajar mereka dan pada akhirnya menciptakan usia sekolah yang sehat dan berprestasi, sedangkan PKPR bertujuan untuk meningkatkan penyediaan pelayanan kesehatan remaja yang berkualitas, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan remaja dalam pencegahan masalah kesehatan, serta melibatkan remaja dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan remaja.

Fokus sasaran layanan Puskesmas PKPR adalah berbagai kelompok remaja antara lain 1) remaja di sekolah: SD/Madrasah, pesantren, sekolah luar biasa, 2) remaja di luar sekolah: karang taruna, saka Bhakti Husada, palang merah remaja, panti yatim piatu/rehabilitasi, kelompok belajar mengajar, organisasi remaja, rumah singgah, kelompok keagamaan, 3) remaja putri sebagai calon ibu dan remaja hamil tanpa mempermasalahkan status pernikahan 4) remaja yang rentan terhadap penularan HIV, remaja yang sudah terinfeksi HIV, remaja yang terkena dampak HIV dan AIDS, remaja yang menjadi yatim piatu karena AIDS, 5) remaja berkebutuhan khusus yaitu meliputi kelompok remaja korban kekerasan trafficking, korban eksploitasi seksual, penyandang cacat, anak jalanan, remaja pekerja, remaja di daerah konflik dan di daerah terpencil.

Konsep  PKPR  memberikan layanan one stop service  yang meliputi 1) pemberian informasi dan edukasi, 2) pelayanan klinis medis termasuk pemeriksaan penunjang dan rujukan, 3) konseling, 4) pendidikan keterampilan hidup sehat (PKHS),  5) partisipasi remaja melalui pembinaan konselor remaja,  6) pelayanan rujukan medis, sosial dan hukum.

Upaya kesehatan usia sekolah dan remaja dilaksanakan di dalam gedung melalui Puskesmas PKPR dengan penerapan Manajemen Terpadu Pelayanan Kesehatan Remaja (MTPKR) dengan layanan 1 pintu one stop service dengan mengintegrasikan layanan lintas program dan lintas sektor terkait. Sedangkan layanan di luar gedung dengan program Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah (UKS/M) dan Sekolah/Madrasah Sehat menyumbang program sebesar 80% dan bina kesehatan lapas atau panti serta posyandu remaja menyumbang 20%.  UKS/M merupakan program yang sangat strategis dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan derajat kesehatan berbasis satuan pendidikan. UKS/M dilaksanakan melalui 3 (tiga) tugas pokok Trias UKS/M, yaitu: Pendidikan Kesehatan, Pelayanan Kesehatan dan Pembinaan Lingkungan Sehat yang dilakukan secara terintegrasi dengan kegiatan belajar mengajar dalam rangka terwujudnya suatu sekolah/madrasah sehat.

Dengan melihat luasnya cakupan program PKPR, maka seharusnya semua lapisan masyarakat remaja tersentuh dan disinyalir program ini telah berhasil dibuktikan dengan adanya Puskesmas mampu laksana PKPR hingga akhir 2021 dilaporkan sebanyak 6865 unit PKPR (67,26%), meningkat dibandingkan data tahun 2017 yaitu 5173 atau 52,65% dibanding dengan target sebesar 40% puskesmas, namun kenyataannya cakupan remaja putri (12-18 tahun) yang mendapatkan Tablet Tambah Darah (TTD) sebesar 31,3%, cakupan imunisasi di sekolah rerata masih dibawah 60% baik untuk Campak, Rubela, DT, Td. Cakupan peserta didik yang mendapat pelayanan kesehatan dapat dilihat dari Angka Partisipasi Sekolah (APS) yang menggambarkan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. APS tahun 2021 pada  level SD/madrasah sebesar 99,2%, SMP sebesar 96%, SMA sebesar 73,1% dan PT 26%. Cakupan sekolah yang mendapat pelayanan kesehatan peserta didik secara nasional sebesar 57,5% pada level SD/Madrasah, SMP/MTS sebesar 54,4%, SMA/MA sebesar 45,2%. Dengan begitu dapat diketahui seberapa banyak mereka yang berada di sekolah mendapatkan pembinaan kesehatan melalui UKS.

Jika dibandingkan dengan program PKPR diluar gedung lainnya yaitu posyandu remaja, maka diketahui sampai dengan tahun 2021 jumlahnya sebanyak 15185 tersebar di 34 provinsi, padahal target 1 posyandu remaja maksimal 50 remaja. Berdasarkan data BPS tahun 2020 diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 270203917 jiwa,  jumlah remaja usia 10-19 tahun sebanyak 44508470 jiwa, sehingga estimasi jumlah posyandu seharusnya adalah 890.169 buah, masih sangat jauh dari kebutuhan. Berdasarkan hasil evaluasi keberadaan posyandu tahun 2021,  secara nasional jumlah kabupaten atau kota yang melaksanakan pembinaan Posyandu aktif sebanyak 245 dari 514 (47,7%),  sedangkan kabupaten atau kota dengan minimal 80% posyandu aktif ditemukan 31 dari 245 (6%) dari 15 provinsi yang melapor. Jika posyandu remaja menyasar kepada remaja yang ada di luar institusi sekolah, maka jumlah sasarannya sangat kecil prosentasenya yaitu berdasarkan sisa prosentase APS adalah 0,8% untuk usia SD/Madrasah, 4% untuk SMP/MTS,untuk SMA/MA  26,9%.

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, perlu adanya penekanan pada program yang lebih terbukti efektif. Adapun peluang peningkatan penyelenggaraan program UKS telah didukung adanya beberapa komponen tata kelola dalam UKS di satuan pendidikan antara lain kebijakan melalui surat keputusan bersama 4 menteri antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, menteri agama, dan menteri dalam negeri Republik Indonesia, perencanaan dan anggaran, koordinasi, peningkatan kapasitas monitoring dan evaluasi serta pelaporan. Selain itu saat ini telah dilakukan terobosan integrasi program UKS dalam berbagai kegiatan pembiasaan sekolah khususnya dalam kegiatan pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler serta belajar mandiri, baik level PAUD, SD/Madrasah, SMP/MTS dan SMA/MTS.

Mengingat program UKS/M berkontribusi 80% pada program PKPR di luar gedung, maka akan lebih efektif jika program ini yang diperkuat ketimbang pengembangan 1 desa 1 posyandu remaja yang disinyalir banyak yang mangkrak dan tidak berjalan dengan baik. Dengan melihat hasil pelaksanaan UKS/M dan sekolah/madrasah sehat, maka belajar dari keberhasilan program pendamping minum obat (PMO) pada pengobatan TBC dapat diterapkan pada program kesehatan anak sekolah dan remaja dengan melibatkan orang tua sebagai pemantau kondisi kesehatan anak-anaknya secara intensif melalui instrumen “Rapor kesehatanku” buku catatan kesehatan siswa serta dalam rangka peningkatan dukungan/CSR pihak swasta, maka perlu melibatkan institusi pendidikan kesehatan setempat sebagai pembina wilayah dimana sekolah/madrasah tersebut berada, baik dalam perannya sebagai pemateri, pendukung, pemantau dan penyelia program UKS/M. Keuntungan model ini adalah keikutsertaan dan keterlibatan anak usia sekolah dan remaja akan meningkat didukung oleh sumber daya swasta sebagai CSR pemberdayaan masyarakat.

Oleh: Endang Surani, S.Si.T., M.Kes (Dosen Pendidikan Profesi Bidan FK UNISSULA, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Sebelas Maret)

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *