Toleransi Beragama Sesuai Syariat Islam

Berita1593 Views

Ugateway.id  Perbedangan pandangan mengenai boleh dan tidaknya umat Islam memberikan ucapan selamat atas perayaan hari raya umat agama lain senantiasa menjadi tema dan sekaligus polemik yang menarik untuk didiskusikan. Misalnya saja bagaimana hukumnya jika seorang muslim mengucapkan selamat hari Natal kepada umat Kristiyani. Diskusi diskusi semacam itu tentu akan semakin meruncing manakala dibenturkan dengan aqidah dan pentingnya menjaga keharmonisan kehidupan antar umat beragama.

Dalam Al Qur’an surat Maryam ayat yang ke 33

وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا

Allah SWT mengabadikan doa Nabi Isa AS yang artinya “Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”. Ayat tersebut membahas mengenai ucapan selamat.

Mengenai ayat tersebut Prof Dr Quraish Shihab dalam tafsir Al Misbah halaman 443-445 menyatakan dua pandangannya mengenai mengucapkan selamat hari Natal kepada umat Kristiyani. Pertama, pandangan ulama yang melarangnya karena esensi aqidah. Dimana pemahaman tentang Isa AS sangat berbeda antara aqidah umat Islam dengan aqidah umat Kristiani. Sehingga supaya tidak terjadi pengkaburan akidah maka sebagian ulama melarang mengucapkan selamat Natal oleh umat Islam kepada umat Kristiani.

Dengan kata lain memberikan ucapan selamat tersebut dapat menodai aqidah seorang Muslim. Karena pemahaman terhadap Isa AS secara teologis berbeda sekali antara Islam dan Kristen. Sehingga ketika seorang muslim memberikan ucapan selamat Natal sama dengan menyetujui bahwa Isa AS adalah anak Tuhan bukan sebagai Nabi seperti dalam keyakinan umat Islam.

Pandangan yang kedua adalah sebagian ulama lainnya tidak melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal. Dengan catatan selama hal itu tidak berpotensi mengganggu aqidah seorang Muslim, dan dilakukan dalam kerangka menjaga keharmonisan hubungan antar umat beragama.

Prof Quraish Shihab menyimpulkan bahwa boleh mengucapkan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain sepanjang hal itu dilakukan dengan arif dan bijaksana serta tidak ada potensi untuk menodai aqidah seorang muslim.

Lantas bagaimana sikap kita terkait polemik boleh tidaknya mengucapkan selamat hari raya bagi pemeluk agama lain?. Serta bagaimana cara kita agar tetap mampu menjaga keharmonisan dan kerukunan antar umat beragama tanpa harus mengganggu aqidah kita?.

Pertama, bahwa tidak menjadi sebuah keharusan bagi seorang muslim memberikan ucapan selamat atas perayaan hari raya agama lain. Dalam kitab Iqtidhou Sirotol Mustaqim karya Ibnu Taimiyah di halaman 195 dan 196 dijelaskan meskipun dalam kehidupan bermualah Nabi Muhammad berinteraksi secara baik dengan kaum Yahudi. Sebagai salah satu contohnya Nabi pernah berhutang ke seorang Yahudi dengan jaminan baju besi milik Nabi sendiri. Namun demikian semasa hidupnya Nabi tidak pernah ikut bersama sama dengan kaum Yahudi di dalam suatu perkara khsusus misalnya bersinergi untuk urusan perayaan hari raya nonmuslim.

Orang- orang Islam tidak pernah mengubah tradisi karena pengaruh mereka untuk bersinergi dalam hari raya mereka. Ketika nonmuslim merayakan hari raya mereka sikap Rosulullah SAW dan sikap orang muslim semasa itu sama seperti hari – hari biasa.

Rosulullah dan umat Islam senantiasa menjaga hubungan yang harmonis dengan nonmuslim, tetapi tidak pernah ikut campur terkait hari raya mereka. Rosul dalam sejarahnya juga tidak mengucapkan selamat ketika nonmuslim merayakan hari besar keagamaan. Namun hal itu tidak mengurangi keharmonisan, toleransi, dan rasa kemanusiaan.

Kedua, mengucapkan selamat natal dari Muslim kepada nonmuslim merupakan sebuah komunikasi. Bagaimana tuntunan Al Qur’an dalam membangun sebuah komunikasi. Komunikasi yang diajarkan dalam Al Qur’an adalah komunikasi yang benar, edukatif, dan efektif. Komunikasi yang benar edukatif, efektif, dan terhormat itu tidak harus selalu dengan mengucapkan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain.

Qur’an memberikan rambu rambu kepada kaum Muslim untuk berkomunikasi dengan kata kata yang benar (Qoulan syadida). Hal itu dipertegas dalam surat Al Ahzab ayat 70.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ

Berkata yang benar artinya tidak menyalahi akidah Islam, tidak menyalahi etika Islam, jujur, dan tidak berbohong.

Qur’an juga memberikan kita tuntunan bagi kaum Muslim untuk berkomunikasi dengan menggunakan komunikasi yang telah terverifikasi (diketahui baik) yaitu qoulan makrufan. Komunikasi yang diketahui baik terkait bahasan ini yaitu yang sesuai dengan Qur’an Surat Maryam ayat ke 33. Surat itu dibaca oleh umat Islam dalam keseharian yaitu selamat atas kelahiran Isa Ibnu Mariam, Isa AS sebagai hamba dan Nabi Allah SWT. Bukan Isa sebagai anak Tuhan. Itulah makna komunikasi yang telah terverifikasi, komunikasi yang diketahui baik. Sebuah komunikasi yang telah diketahui dalam syariah.

Lantas bagaimana seharusnya sikap kita dengan umat Kristiyani dalam konteks keseharian maupun saat perayaan Natal. Allah SWT melalui Al Qur’an mendidik kaum Muslim untuk berkomunikasi secara lemah lembut (qoulan layinan). Al Qur’an juga memberikan tuntunan agar  berkomunikasi dengan kata kata yang mulia (qoulan karima). Tidak menghujat mereka, tidak menjelek jelekan mereka, tidak merendahkan mereka, tidak menistakan agama mereka. Demikian juga Al Qur’an memberikan tuntunan agar kaum Muslim menggunakan komunikasi yang efektif (qoulan baligho).

Ketiga, dalam tafsir Ar Razi karya Fahrudin Ar Razi pada juz 3 halaman 241- 242. Disebutkan tidak boleh memakai bahasa komunikasi dengan bahasa tertentu yang membawa efek kesalahpahaman, yang berefek pada kehidupan sosial, hukum, politik, maupun berefek pada keharmonisan sosial.

Didalam tafsir Ar Razi disebutkan ketika Nabi SAW membacakan ilmu dihadapan para Sahabatnya maka para Sahabat ketika itu akan mengatakan roina ya Rosulullah. Roina diartikan “jagalah kami ya rosulullah atau peliharalah kami ya Rosulullah”. Kata kata roina ketika itu sangat populer di kalangan umat Islam. Sementara secara spesifik kata roina juga populer digunakan oleh kaum Yahudi sebagai hujatan atau cacian. Roina digunakan sebagai bahasa untuk mencaci maki, meremehkan, dan juga menistakan.

Orang orang Yahudi menggunakan kata roina di depan Nabi sebagai olok olok. Ketika Nabi mengatakan “dengarlah” maka orang orang Yahudi ketika itu juga akan mengatakan roina dengan maksud yang berbeda yaitu “kami tidak mau mendengar”. Mereka menggunakan kata roina dengan arti dan maksud yang berkebalikan sebagai upaya meremehkan ucapan ucapan Nabi Muhammad.

Merespon peristiwa tersebut Allah SWT menurunkan Surat Al Baqoroh ayat ke 104 yang menyuruh umat Islam untuk menghentikan menggunakan kata roina. Supaya tidak adalagi kesalahpahaman atau kata yang disalah artikan. Penggunaan kata roina yang disalahartikan sangat membahayakan secara etika dan membahayakan secara aqidah.

Belajar dari peristiwa tersebut maka mengucapkan selamat hari raya Natal ada dua versi.  Pemahaman Isa AS versi Islam dan Isa versi Nasrani. Sedangkan Natal itu spesifik terminologi milik Nasrani bukan versi Islam. Sehingga jika seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada Nasrani itu ikut ikutan versi mereka. Menurut teori Surat Al Baqoroh ayat 104

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقُوْلُوْا رَاعِنَا وَقُوْلُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوْا وَلِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

kata kata roina itu dihentikan. Sehingga tidak pas jika umat Islam mengucapkan selamat Natal pada umat Kristiyani meskipun hal itu tidak dikhawatirkan menodai aqidah.

Lantas bagaimana menjalin keharmonisan dengan umat agama lain khususnya Kristiyani ketika mereka sedang merayakan natal maupun dalam kehidupan keseharian?. Maka panduan kita sudah sangat jelas untuk bermuamalah dengan baik, berkomunikasi dengan baik, bertindak yang baik. Tidak mengganggu mereka. Tidak mengancam mereka. Tidak meneror mereka. Kaum muslim diajarkan mengekedepankan ahlaq yang mulia.

Contoh toleransi beragama : halaman rumah seorang muslim yang digunakan untuk parkir umat Kristiani yang merayakan natal beberapa waktu yang lalu

Contoh toleransi umat Islam di bidang muamalah yaitu halaman rumah seorang muslim yang dipakai untuk parkir para pemeluk Kristiyani yang sedang merayakan Natal beberapa waktu lalu. Hal itu merupakan contoh yang menyejukkan. Dimana seorang muslim bisa bertoleransi dengan pemeluk agama lain dengan tetap menjaga agidahnya.

Kemudian bolehkan umat Islam melakukan perayaan Natal bersama dengan nonmuslim?. Dalam fatwa yang dikeluarkan MUI sejak tahun 1975 halaman 331- 338. Dengan memperhatikan perayaan Natal bersama pada akhir akhir ini disalahartikan oleh sebagian umat Islam dan disangka sama dengan umat Islam merayakan Maulid Nabi SAW. Anggapan itu merupakan sebuah kekeliruan.

Fatwa MUI menjelaskan bahwa umat Islam tidak boleh mencampuradukkan akidah dan peribadatan agamanya dengan akidah dan peribadatan agama lain (dengan merujuk pada surat Al Kafirun). Dengan alasan lagi surat Al Qur’an surat Maryam ayat 30,

قَالَ اِنِّيْ عَبْدُ اللّٰهِ ۗاٰتٰنِيَ الْكِتٰبَ وَجَعَلَنِيْ نَبِيًّا ۙ

bahwa Isa AS dalam ayat ini mengatakan “Saya adalah hamba Allah dengan memberikan saya kitab dan menjadikan saya nabi”. Jelas, versi Islam bahwa Isa AS adalah Nabi.

Oleh karena itu MUI pada tanggal 1 Jumadil Awal 1401 H/ 7 Maret 1981 menetapkan bahwa mengikuti upacara natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Tujuannya agar umat Islam tidak terjerumus kepada subhat (kerancuan), kesalahpahaman, campur aduk.

Pendapat itu juga dikuatkan dengan tulisan Jalaludin Asyuyuti dalam kitab Ad Dur Al Manshur Ketika Rosul SAW diajak bernegosiasi oleh tokoh nonmuslim yang mengajak Nabi untuk bergantian beribadah dengan cara mereka dan mereka akan menyembah sesuai dengan ibadah cara Nabi. Kemudian Allah menurunkan Surat Al Kafirun yang menjelaskan tidak boleh dilakukannya hal tersebut. Sehingga negosiasi tersebut di tolak oleh Nabi Muhammad SAW. Ini jelas bahwa peribadatan tidak boleh dicampuradukkan.

Kemudian di dalam kitab As Sunanul Kubro karya Al Baihaqi di jilid 14 hal 113 nomor 9374. Umar bin Khottob memfatwakan “Dan janganlah kamu sekalian umat Islam masuk pada orang-orang nonmuslim di dalam tempat ibadah mereka di hari raya mereka.” Ini fatwa langsung dari Umar bin Khottob.  Umat muslim dilarang masuk ke Gereja-Gereja ketika mereka merayakan hari raya.

Namun demikian kita harus menjaga keharmonisan dengan tidak menghujat mereka, tidak menistakan mereka, tidak mengganggu mereka, menteror mereka. Kita harus saling menghormati mereka, menghargai mereka di dalam hal kemanusiaan. Tetap menjaga citra Islam dalam hal kemanusiaan berbuat baik dengan sesama muslim maupun nonmuslim. Namun demikian hal itu tidak harus merusak akidah kita sendiri sebagai umat Islam.

*diolah dari ceramah Gus Qoyyum yang di modifikasi.