Ugateway.id Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang. Mengukuhkan guru besar profesor kehormatan di bidang ilmu hukum kepada Dr Binsar M Gultom SH SE MH pada Jum’at (14/07/2023). Di Ruang Seminar Lantai 1 Fakultas Hukum Unissula.
Dr Binsar M Gulton SH SE MH merupakan Hakim Tinggi di DKI Jakarta ini, kini berhak menyandang gelar Prof Dr Binsar M Gulton SH SE MH. Binsar M Gulton yang juga pernah menjadi Majelis Hakim pada kasus kopi sianida ini, menurut Rektor Unissula layak meraih gelar kehormatan profesor di bidang hukum, karena perannya dalam mengembangkan bidang hukum di Tanah Air.
”Semoga ilmu yang dimilikinya bisa bermanfaat untuk bangsa dan negara, dimana pemikiran akademik yang bermanfaat untuk tumbuhnya peradilan Hak Azasi Manusia (HAM) Ad hoc di Indonesia,” jelas rektor.
Pemikiran Binsar M Gulton yang selalu diserukan adalah, bagaimana seorang hakim dalam mengambil keputusan pada suatu masalah harus melihat dari berbagai sisi. Ini artinya tidak hanya berdasarkan pada ketentuan yang ada dalam per-Undang-Undangan saja, namun harus peka dengan rasa keadilan dan kehidupan manusia.
Sementara itu, dalam kesempatan tersebut Binsar M Gultom membacakan orasi ilmiahnya yang berjudul Efektivitas Pengadilan HAM Ad Hoc dan Pengadilan HAM di Indonesia. Menurut Binsar, saat ini pengadilan HAM Ad hoc dan pengadilan HAM masih kurang efektif di Indonesia. Hal ini ditandai dengan sulitnya menetapkan pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu dan masa sekarang.
Oleh karenanya, Binsar M Gultom menyarankan untuk mencegah berlarut-larutnya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan masa sekarang, disarankan agar pemerintah sebelum habis masa jabatannya tahun 2024, segera meminta tegas kepada Komnas HAM dan Jaksa Agung untuk mengungkap kembali dan menyelesaikan secara tuntas kasus-kasus yang sudah pernah diselidiki oleh Komnas HAM dan penyidikan oleh Jaksa Agung untuk segera diproses secara hukum melalui usulan pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc untuk mendapatkan keputusan Presiden, lalu menyelesaikannya lewat pengadilan HAM Ad hoc.
Agar perkara pelanggaran HAM berat ini tidak mudah dibebaskan di Pengadilan Ad hoc maupun Pengadilan HAM dengan alasan akurasi alat bukti dan barang bukti sudah tidak memadai lagi, maka para hakim pengadilan tersebut harus mampu menerapkan secara cermat doktrin tanggungjawab komandan atau atasan sebagaimana dalam Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU No 256 Tahin 2000 tentang Pengadilan HAM.
”Jika alternatif penyelesaian HAM berat masa lalu secara hukum sulit dilaksanakanakan, disarankan agar kasus tersebut dapat diselesaikan secara rekonsiliasi nasional berdasarkan UU Komisi, Kebenaran, dan Rekonsiliasi seperti yang diamanatkan oleh Pasal 47 ayat (1) UU Pengadilan HAM,” jelasnya.