Indonesia di Tengah Konflik Thailand-Kamboja: Membangun Jembatan Diplomasi Damai

Nasional7 Views

Oleh: Agus Prasetia Wiranto, S.H., M.H.
Dosen Hubungan Internasional, Fakultas Hukum Unissula

Konflik perbatasan antara Kamboja dan Thailand kembali mencuat dalam dinamika kawasan Asia Tenggara. Perselisihan ini, yang berakar pada klaim atas wilayah di sekitar Candi Preah Vihear—situs warisan dunia UNESCO—telah menimbulkan ketegangan diplomatik dan militer berkepanjangan. Bentrokan bersenjata yang berulang di wilayah tersebut menunjukkan bahwa konflik bilateral ini tidak dapat dipandang sebagai isu lokal semata, melainkan memiliki dimensi internasional yang lebih luas, termasuk implikasi terhadap stabilitas kawasan dan Indonesia sebagai negara anggota ASEAN.

Secara hukum internasional, sengketa antara Thailand dan Kamboja telah melalui beberapa tahap penyelesaian formal. Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan bahwa Candi Preah Vihear berada di wilayah Kamboja. Namun, masalah tidak berakhir di situ. Permasalahan utama terletak pada penentuan garis batas di sekitar candi tersebut. Thailand menolak beberapa klaim wilayah yang diajukan Kamboja, sehingga memicu ketegangan kembali pada dekade 2000-an, bahkan sempat berujung pada kontak senjata yang menewaskan sejumlah prajurit dari kedua negara.

Ketegangan terakhir mencatat peningkatan eskalasi yang mengkhawatirkan. Pemerintah Thailand melalui laporan media Thai Enquirer mengonfirmasi bahwa sebanyak 22 orang tewas, terdiri dari 14 warga sipil dan 8 tentara. Sementara itu, sedikitnya 140 orang mengalami luka-luka. Di pihak Kamboja, jumlah korban jiwa tercatat sebanyak 13 orang. Puluhan ribu warga dari kedua sisi perbatasan terpaksa mengungsi untuk menghindari dampak langsung dari konflik bersenjata ini. Situasi kemanusiaan pun mulai menjadi sorotan internasional.

Perjanjian-perjanjian internasional, seperti Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) 1976 dan prinsip-prinsip Piagam ASEAN, secara jelas menekankan pentingnya penyelesaian damai atas segala bentuk perselisihan antarnegara. Sayangnya, implementasi prinsip-prinsip tersebut sering kali terbentur oleh nasionalisme sempit dan kalkulasi politik domestik dari negara-negara yang bersengketa.

Agus Prasetia Wiranto, S.H., M.H., Dosen Hubungan Internasional Fakultas Hukum Unissula, menyampaikan bahwa konflik ini merupakan ujian bagi solidaritas kawasan.

“Sengketa ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena akan melemahkan posisi ASEAN sebagai organisasi regional yang selama ini menjunjung tinggi penyelesaian damai. Ketika dua negara anggota ASEAN saling serang, maka kredibilitas ASEAN dalam menyelesaikan konflik eksternal juga dipertaruhkan,” ujar Agus.

Ia juga menambahkan bahwa konflik semacam ini harus dilihat tidak semata sebagai benturan batas wilayah, tetapi juga sebagai pertarungan simbol kedaulatan dan nasionalisme.

“Sayangnya, nasionalisme yang tidak dikontrol dengan bijak justru dapat mengabaikan norma-norma hukum internasional. Ini yang menjadi bahaya laten, karena dapat membenarkan kekerasan atas nama kedaulatan,” jelas Agus lebih lanjut.

Bagi Indonesia, ketegangan ini memberi pelajaran penting. Sebagai negara besar di Asia Tenggara dan salah satu motor diplomasi kawasan, Indonesia memiliki kepentingan langsung terhadap stabilitas ASEAN. Ketegangan ini juga menjadi pengingat bahwa mekanisme penyelesaian konflik regional perlu diperkuat, tidak hanya melalui forum diplomatik, tetapi juga dengan mendorong pemanfaatan forum hukum seperti Mahkamah Internasional secara aktif.

Indonesia sendiri memiliki sejarah panjang dalam menjadi penengah konflik, baik di kawasan ASEAN maupun internasional. Peran aktif ini perlu terus dijaga dan ditingkatkan. Pendekatan diplomasi damai yang mengedepankan prinsip non-intervensi dan penyelesaian berdasarkan hukum internasional harus tetap menjadi pijakan utama.

“Indonesia tidak bisa pasif. Kita harus hadir sebagai fasilitator dialog yang netral, karena perdamaian kawasan juga akan menentukan posisi strategis Indonesia di mata dunia,” tutup Agus.

Konflik Thailand–Kamboja pada akhirnya mencerminkan tantangan utama bagi ASEAN: bagaimana menyeimbangkan prinsip kedaulatan dengan komitmen regional. Di sinilah peran negara-negara seperti Indonesia menjadi vital. Sebagai negara hukum yang mengedepankan penyelesaian damai, Indonesia harus terus mendorong penggunaan jalur-jalur legal formal seperti ICJ, serta memperkuat kapasitas ASEAN dalam merespons konflik internal anggotanya secara cepat dan efektif.